JADI DOKTOR

Minggu-minggu terakhir ini rasanya cukup terganggu juga dengan seliweran email dan berita yang terkait dengan institusi tempat saya bekerja. Ditambah dengan laporan menumpuk dan mahasiswa yang menanti konsultasi perbaikan proposal, draft skripsi maupun thesis  - belum lagi yang rada memelas meminta ujian perbaikan sambil mengucapkan “maaf ya bu, mengganggu” rasanya ingin menjawab: “ya memang betul sekali kerjanya kamu (mahasiswa) itu gangguin dosennya..” hehe….

Kembali ke judul di atas, inti cerita kali ini adalah tentang jadi doktor. Kebanyakan orang sudah tahu doktor itu apa, walaupun pernah juga saya di sms oleh wartawan dengan menuliskan gelar saya sebagai dokter. Waduh, doktor dan dokter jelas beda. Doktor (Dr.) ini adalah gelar akademik tertinggi yang diperoleh setelah mengikuti pendidikan tinggi di universitas, setelah strata-1  (sarjana) dan strata-2 (magister sains). Dokter (dr.) itu gelar profesi, yang juga diperoleh setelah menempuh strata-1 pendidikan tinggi di bidang kesehatan. Jadi apa ada dokter yang doktor? Jelas ada! Suami teman saya di Padang itu sudah dokter spesialis, sekarang sedang kuliah S3. Saya tidak bisa membayangkan bahwa lebih dari separuh umurnya dihabiskan untuk belajar formal!

Waktu saya kecil dan remaja tidak pernah saya bercita-cita jadi doktor. Bahkan saat kuliah S-1 pun! Lumayan bengal saat remaja dan kuliah, saya suka diledekin teman-teman saat reuni karena tidak menyangka akan menyandang titel Dr. 

Dari banyak pergaulan dan pengamatan di sekitar, saya melihat banyak sekali motivasi untuk menjadi doktor. Buat saya, jalan hidup memutuskan saya menjadi guru untuk mahasiswa dan berkecimpung di bidang penelitian. Keingintahuan yang dalam untuk menekuni bidang herpetofauna ditambah dengan keinginan untuk eksis di bidang akademik membawa langkah saya untuk melanjutkan kuliah S-3 di Australia. Jadi motivasi utama sekolah lagi lebih ke arah motivasi akademik dan pengembangan pengetahuan, walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa kalau sudah menyandang S3 lebih gampang naik pangkat yang insya allah berkontribusi kepada pendapatan hehe…. Bagaimana dengan orang lain? Mudah-mudahan juga sama, walaupun kadang-kadang takut juga kalau motivasinya lebih ke arah prestise supaya dibilang sudah jadi orang pintar atau terpelajar. Pernah sekali ikut sidang terbuka kandidat doktor kenalan di universitas ternama di depok, saya terkagum-kagum dengan formalnya acara dimana doktor dipanggil dengan “yang sangat terpelajar”. Baru sadar kalau saya termasuk golongan”yang sangat terpelajar”.

Perjalanan jadi doktor biasanya lumayan panjang dan melelahkan. Setiap kali ada mahasiwa atau kenalan yang sedang kuliah paska sarjana mengeluh berbagai kesulitan, saya selalu ingatkan bahwa memang begitu lah perjalanan menjadi doktor. Hampir semua mengalami. Lagipula kalau jalannya lancar saja, kok nggak enak banget ya mengenangnya? Kalau ditanya jawabnya hanya, “ah jadi doktor mah lancar aja tuh. Gak ada masalah”. Sudah, selesai. Tidak ada bumbu apapun.
Dulu waktu sekolah pernah ada yang mengirim alegori Frodo Baggins, tokoh dalam Lord of the Rings, menjadi kandidat doktor. Sangat lucu dan pas sekali (cek ceritanya: http://www.asylumnation.com/asylum/_r/showthread/threadid_19924/index.html) menggambarkan perjalan penuh api dan onak untuk mencapai doktor dan setelah selesai.. ya.. gitu aja deh….

Apa maksudnya ya gitu deh… Untuk orang seperti saya, menyelesaikan doktor cuma seperti menyelesaikan kewajiban saja. Lega dan cemas karena sejumlah kewajiban sebagai orang yang berkiprah dibidang akademik menunggu. Kewajiban apa? Meneruskan penelitian, menyampaikan kepada publik melalui jalur akademik seperti seminar, tulisan ilmiah di jurnal, dan sebagainya. Kebanggaan jelas ada, tapi karena inti menjadi doktor bukan untuk berbangga-bangga ke orang-orang, ya buat saya tidak penting sekali. Saya termasuk orang yang malas menaruh gelar akademik, kartu namapun baru terakhir-terakhir diberi gelar akademik karena diingatkan oleh beberapa orang. Gelar akademik di Indonesia memang kadang kala perlu, terutama jika berhadapan dengan lembaga yang orang-orangnya suka memandang rendah orang yang dianggap tidak terpelajar.

Perlu diingat bahwa tidak ada korelasi antara gelar doktor dengan kematangan sikap seseorang. Namanya manusia, biar doktor kalau gombal ya gombal. Doktor juga bisa saja ngomongnya sembarangan dan tak punya sopan santun, walaupun diharapkan sebagai doktor harus punya etika. Doktor itu sedapat mungkin tidak punya kuping yang tipis. Sebagai orang yang diharuskan membuat karya ilmiah, setiap kali dapat review tajam ya harus sabar dan intropeksi karena kalau tidak bisa jantungan. Dibilang tulisan tidak layak sebagai tulisan ilmiah mah sudah pernah, tinggal perbaiki dan beri justifikasi saja supaya bisa diterima ke jurnal ilmiah. Memang saat ini belum pernah sih diomelin orang karena omongan rada ngablak. Ingat juga,  Doktor itu juga biasanya ahli di satu bidang spesifik. Tidak mungkin untuk sesorang jadi ahli segala. Kalau saya ditanya tentang tanaman cabe sementara yang saya pelajari tentang katak ya mana nyambung? Kecuali kalau memang katak yang saya teliti ternyata senang makan cabe.

Akhir bulan ini universitas kami sedang “bedol desa”. Mahasiswa pasca sarjana yang kadal (alias kadaluwarsa – mendekati waktu tenggat batas akhir) diharuskan lulus sebelum akhir Januari 2012. Jadi, ramai lalu lalang lah orang-orang yang ingin cepat lulus. Kebanyakan memang senewen, walaupun kalau saya perhatikan, kesalahan pada diri mereka juga. Kemana aja dulu menghlang?! Dikasih surat cinta baru ingat bahwa harus menyelesaikan thesis mereka. Untuk kandidat doktor, jalan menuju panggilan doktor masih panjang. Bahkan kandidat yang sudah sidang tertutup dan sidang terbuka pun tidak bisa langsung menuliskan gelar Dr karena gelar Dr. baru bisa ditaruh setelah menyelesaikan administrasi.
Selain itu, jangan tenang dulu. Kalau terbukti melakukan tindakan tidak terpuji bisa saja gelar doktor dicabut walaupun sudah lulus karena  melakukan plagiat, suap menyuap atau lainnya. Kalau tidak percaya, ya google saja dengan kata kunci: gelar doktor dicabut. 

Untuk para kandidat Doktor dari IPB: mohon disimak ya syarat-syarat untuk dianugerahkan gelar doktor dibawah ini yang saya kutip dari website supaya jangan kecepatan memproklamirkan diri: JADI DOKTOR!
---------------------------------------
Ujian Tertutup
Ujian tertutup dilaksanakan di hadapan komisi pembimbing, dua orang penguji luar komisi (minimum satu orang dosen IPB), wakil dari Program studi/mayor dan fakultas/SPs, bertempat di homebase untuk menguji berbagai kompetensi yang dipunyai seorang calon doktor. Jika dinilai belum layak, maka mahasiswa dapat dinyatakan tidak lulus dan diberi kesempatan satu kali untuk mengulang, paling cepat dua bulan sesudah pelaksanaan ujian pertama. Mahasiswa yang tidak lulus ujian tertutup dua kali berturut-turut dinyatakan tidak layak untuk memperoleh gelar doktor dan dinyatakan drop out dari SPs IPB. Ujian tertutup dilaksanakan setelah mahasiswa menyelesaikan penelitian, seminar, publikasi pada jurnal ilmiah terakreditasi, dan penulisan disertasinya.

Sebelum ujian tertutup, minimum sudah dilaksanakan empat kali pertemuan secara formal dalam bentuk sidang komisi antara mahasiswa dengan komisi pembimbing, guna secara bersama-sama membantu mengarahkan pelaksanaan dan mempub¬likasikan serta menuliskan hasil penelitian yang berkualitas.

Mahasiswa program doktor jalur perkuliahan wajib mempublikasikan hasil penelitiannya minimum 1 (satu) artikel dalam jurnal ilmiah nasional terakreditasi atau jurnal ilmiah internasional yang sesuai dengan bidangnya. Sedangkan bagi mahasiswa program doktor jalur penelitian, mahasiswa wajib mempublikasikan hasil penelitiannya minimum 3 (tiga) artikel dalam jurnal ilmiah nasional terakreditasi atau jurnal ilmiah internasional yang sesuai dengan bidangnya. Sebelum yang bersangkutan melaksanakan ujian tertutup program doktor, satu artikel sudah dipublikasikan dan dua artikel lagi sudah diterima untuk publikasi yang dinyatakan dengan surat resmi penerimaan artikel dari dewan redaksi jurnal.

Ujian Terbuka
Calon doktor yang sudah dinyatakan lulus dalam ujian tertutup dapat diajukan untuk melaksanakan ujian terbuka. Calon doktor yang akan melaksanakan ujian terbuka harus telah menghadiri pelaksanaan ujian terbuka program doktor minimal sebanyak 5 (lima) kali yang diselenggarakan oleh SPs IPB. Ujian terbuka bertujuan untuk menguji kemampuan calon doktor dalam mempertahankan disertasinya termasuk yang mencakup wawasan keilmuan dan penerapannya yang lebih luas.

Penguji ujian terbuka terdiri dari komisi pembimbing, 2 (dua) penguji di luar komisi pembimbing yang berasal dari staf pengajar IPB atau perguruan tinggi lainnya serta dari lembaga pemerintah atau pihak swasta yang terkait dengan topik disertasi yang bersangkutan.

Penganugrahan Gelar Doktor
Gelar doktor secara resmi diberikan setelah mahasiswa berhasil memenuhi persyaratan jumlah SKS, ujian kualifikasi, penelitian, publikasi ilmiah, seminar, ujian tertutup dan berhasil mempertahankan disertasinya dalam ujian terbuka IPB, serta menyerahkan disertasi yang sudah final dan ditandatangani lengkap oleh komisi pembimbing, koordinator Program studi/mayor, dan Dekan SPs. Disertasi final yang telah lengkap ditandatangani tersebut diserahkan kepada SPs selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah ujian terbuka. Bagi lulusan program doktor yang akan mengikuti wisuda, disertasi final harus sudah diterima oleh SPs paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum pelaksanaan wisuda. Ijazah akan diberikan apabila mahasiswa telah memiliki SKL dan selesai diproses pembuatannya sesuai POB yang berlaku.  Surat Keterangan Lulus (SKL) akan diberikan setelah disertasi final tersebut diterima oleh SPs.  Kelalaian mengesahkan disertasi ke SPs akan mengakibatkan tidak diterbitkannya SKL dan ijazah, sehingga yang bersangkutan tidak berhak menyandang gelar doktor.

Comments

Popular posts from this blog

CINTAKU DI KAMPUS BIRU

Jurnal Liburan Sumatera Barat Akhir Tahun 2011: Istana Pagaruyung

PULANG: Untuk para anak di rantau