CINTAKU DI KAMPUS BIRU
Waktu saya di Australia kalau pulang ke Indonesia, saya berkesempatan „menengok“ sinetron TV swasta. Saya bilang “menengok” karena tidak pernah bisa menyelesaikan penuh satu episode. Biasanya baru lima menit tayangan dimulai, saya sudah mulai mempertanyakan kelogisan jalan cerita. Akhirnya setelah sepuluh menit yang menyiksa, diputuskan untuk ganti menonton siaran lain atau matiin TV sekalian.
Cerita ini sebenarnya sedikit hubungannya dengan TV karena yang ingin diceritakan adalah sepenggal cerita kehidupan sebagai dosen. Dimulai dengan sinetron karena yang saya sempat menonton sinetron Cintaku di Kampus Biru, adapatasi dari novel terkenal Ashadi Siregar. Citra dosen di kampus dalam novel ini menggambarkan strereotype dosen di mata (kebanyakan) orang Indonesia. Dosen itu pasti killer (pastinya punya instink membunuh), baik dosen lelaki maupun dosen perempuan bisa dimanfaatkan oleh sang mahasiswa entah dengan lirikan, rayuan maut maupun tangisan gombal. Streotype lain, mata duitan. Kalau mau dapat nilai bagus harus kirim hadiah atau uang. Tidak ada cerita bagaimana dosen itu kerja keras, bikin penelitian, tulis publikasi, menyiapkan bahan mengajar, membimbing mahasiswa yang seringkali ngeyel setengah mati, belum lagi ditambah gaji kecil!
Jadi benarkah dosen selalu dibanjiri hadiah oleh mahasiswa saat menjelang ujian? Untuk kasus saya, boro-boro! IPB terkenal sebagai kampus rakyat, mahasiswa yang punya mobil bisa dihitung dengan jari, dengan kata lain mahasiswanya kebanyakan kere. Berhubung banyak mahasiswa IPB berasal dari daerah, ada juga dari tempat terpencil yang hanya bisa dilihat namanya dari peta skala besar, keuangan kembang kempis tergantung kiriman. Setiap tahun yang menunggak SPP selalu menumpuk, yang berpenampilan seperti orang kekurangan gizi selalu seliweran. Akhirnya yang kena „getahnya“ dosen. Apalagi kalau yang menderita mahasiswa bimbingan. Jangankan dapat hadiah, kita yang keluar dana untuk kasih makan mahasiswa.
Awal krismon merupakan saat terberat bagi kami untuk mengurusi mahasiswa. Berbagai proyek untuk mahasiswa kami buat, mulai dari pemberian makan murah di kampus sampai program mahasiswa bekerja di kampus. Toh hadiah ada juga. Biasanya kalau mahasiswa sudah selesai dan dilantik, kadang kala ada orangtua yang menjumpai dosen pembimbing anak mereka untuk mengucapkan terima kasih dan membawakan bingkisan. Hadiah terenak bagi dosen sebenarnya kalau menjumpai mantan mahasiswa saat berkunjung di suatu tempat. Apalagi kalau mahasiswanya sudah bekerja, wah ... dijamin diurusin.
Sebenarnya sampai sekarang saya masih bertanya-tanya dari mana datangnya istilah dosen? Di Indonesia, dosen konotasinya selalu lebih tinggi daripada guru. Padahal kalau dilihat dari spesifikasi pekerjaan sebenarnya dosen itu tidak jauh dari guru, tapi mungkin karena siswanya bukan murid biasa melainkan yang sudah maha .. tidak bisa ditulis jadi mahaguru. Bisa dianggap murtad oleh Batara Dewa. Jadi dosen lah yang dipakai. Kalau ada yang tahu asal muasal kata dosen tolong informasikan saya ya?
Guru di Indonesia, apalagi guru SD inpres, konotasinya selalu menderita. Stereotype guru Indonesia itu Umar Bakri. Di jurusan tempat saya bekerja, kami mengembangkan pendidikan lingkungan bagi anak sekolah. Mau tidak mau untuk kegiatan ini kami banyak berhubungan dengan guru dan sekolah dasar, mulai yang terpencil di dekat hutan Jati Perum Perhutani di Purwodadi, di kaki gunung taman nasional Halimun sampai yang di kota besar seperti Jakarta. Seringkali ngenes rasanya melihat kondisi sekolah yang reot, satu kelas diumplek-umplek sampai 50 anak dan guru yang harus nyambi jadi pengojek atau kerja serabutan lainnya. Jauh sekali dari guru SD di Australia yang wangi dan mobilnya mengkilap.
Bahkan di sekolah yang baguspun, pusing rasanya melihat anak SD yang selalu heboh. Penyuluhan 2 jam di depan anak SD buat saya sudah maksimal, tak terbayangkan guru SD menghadapi anak-anak kecil setiap hari. Salut saya melihat kesabaran mereka. Harusnya guru SD itu gajinya tidak kalah dengan guru mahasiswa, minimal gajinya memadai untuk hidup .. jangan sampai guru nyambi jadi tukang ojek atau perkerjaan lain!
Ngomong-ngomong soal gaji, seorang teman pernah menghitung-hitung gaji dosen Indonesia per jam kerja. Yang digunakan sebagai acuan adalah saya yang kalau ditanya mengenai pekerjaan seringkali menjawab ibu rumah tangga menyambi dosen. Hitung punya hitung dari kehadiran saya di kampus yang cuma datang saat mengajar, rapat dan ambil gaji disimpulkan bahwa gaji saya sekitar 150 ribu/jam. Itu hitungan sekitar 7 tahun yang lalu lho. Tentunya protes dong saya, soalnya pekerjaan seperti membuat soal ujian, menyiapkan bahan mengajar, memeriksa hasil ujian dan juga skripsi mahasiswa, yang semuanya saya kerjakan di rumah, tidak dihitung. Saya ini orang rumahan, lebih produktif di rumah daripada di kantor. Bahkan sekolah di Australiapun sama. Kalau tidak ketemu supervisor, tidak ke lapang, tidak ke laboratorium atau ke perpustakaan, lebih baik kerja analisis data atau buat paper di rumah daripada di ruangan khusus postgraduate di Uni.
Enaknya jadi dosen di Indonesia itu adalah fleksibilitas yang tinggi. Kalau orang ribut soal dwifungsi ABRI, tidak ada yang penah ribut soal multifungsi dosen. Sudah jamak di kampus saya dosen merangkap jadi Dirjen, Menteri, Ketua LSM, konsultan di berbagai organisasi, komentator ahli di TV atau bahkan mahasiswa seperti saya. Banyak orang bule disini, termasuk supervisor saya, terheran heran bahwa saya ternyata punya kerjaan di Indonesia bahkan masih digaji (tidak tahu dia bahwa gaji dipotong separuh dan kalau di kurs ke dalam dollar cuma bisa untuk nyewa rumah seminggu disini). Mahasiswa Indonesia di Australia (terutama yang postgraduate) selalu mengolok-olok bahwa para pegawai negeri di sini tugas belajar bukan tugas untuk dapat gelar. Dalam arti, kalaupun gagal dapat gelar master atau doktor pulang masih punya pekerjaan.
Cintaku di kampus biru, yang setting asli ceritanya di kampus Universitas Gajah Mada, Jokjakarta pengambilan gambarnya di kampus IPB. Tidak ada mahasiswa/i IPB yang jadi figuran, karena kalau menurut mahasiswa saya, „kalau mahasiswi dari IPB nggak ada yang seksi .. maklum kebanyakan mainnya di sawah atau dihutan .....“.
Cerita ini sebenarnya sedikit hubungannya dengan TV karena yang ingin diceritakan adalah sepenggal cerita kehidupan sebagai dosen. Dimulai dengan sinetron karena yang saya sempat menonton sinetron Cintaku di Kampus Biru, adapatasi dari novel terkenal Ashadi Siregar. Citra dosen di kampus dalam novel ini menggambarkan strereotype dosen di mata (kebanyakan) orang Indonesia. Dosen itu pasti killer (pastinya punya instink membunuh), baik dosen lelaki maupun dosen perempuan bisa dimanfaatkan oleh sang mahasiswa entah dengan lirikan, rayuan maut maupun tangisan gombal. Streotype lain, mata duitan. Kalau mau dapat nilai bagus harus kirim hadiah atau uang. Tidak ada cerita bagaimana dosen itu kerja keras, bikin penelitian, tulis publikasi, menyiapkan bahan mengajar, membimbing mahasiswa yang seringkali ngeyel setengah mati, belum lagi ditambah gaji kecil!
Jadi benarkah dosen selalu dibanjiri hadiah oleh mahasiswa saat menjelang ujian? Untuk kasus saya, boro-boro! IPB terkenal sebagai kampus rakyat, mahasiswa yang punya mobil bisa dihitung dengan jari, dengan kata lain mahasiswanya kebanyakan kere. Berhubung banyak mahasiswa IPB berasal dari daerah, ada juga dari tempat terpencil yang hanya bisa dilihat namanya dari peta skala besar, keuangan kembang kempis tergantung kiriman. Setiap tahun yang menunggak SPP selalu menumpuk, yang berpenampilan seperti orang kekurangan gizi selalu seliweran. Akhirnya yang kena „getahnya“ dosen. Apalagi kalau yang menderita mahasiswa bimbingan. Jangankan dapat hadiah, kita yang keluar dana untuk kasih makan mahasiswa.
Awal krismon merupakan saat terberat bagi kami untuk mengurusi mahasiswa. Berbagai proyek untuk mahasiswa kami buat, mulai dari pemberian makan murah di kampus sampai program mahasiswa bekerja di kampus. Toh hadiah ada juga. Biasanya kalau mahasiswa sudah selesai dan dilantik, kadang kala ada orangtua yang menjumpai dosen pembimbing anak mereka untuk mengucapkan terima kasih dan membawakan bingkisan. Hadiah terenak bagi dosen sebenarnya kalau menjumpai mantan mahasiswa saat berkunjung di suatu tempat. Apalagi kalau mahasiswanya sudah bekerja, wah ... dijamin diurusin.
Sebenarnya sampai sekarang saya masih bertanya-tanya dari mana datangnya istilah dosen? Di Indonesia, dosen konotasinya selalu lebih tinggi daripada guru. Padahal kalau dilihat dari spesifikasi pekerjaan sebenarnya dosen itu tidak jauh dari guru, tapi mungkin karena siswanya bukan murid biasa melainkan yang sudah maha .. tidak bisa ditulis jadi mahaguru. Bisa dianggap murtad oleh Batara Dewa. Jadi dosen lah yang dipakai. Kalau ada yang tahu asal muasal kata dosen tolong informasikan saya ya?
Guru di Indonesia, apalagi guru SD inpres, konotasinya selalu menderita. Stereotype guru Indonesia itu Umar Bakri. Di jurusan tempat saya bekerja, kami mengembangkan pendidikan lingkungan bagi anak sekolah. Mau tidak mau untuk kegiatan ini kami banyak berhubungan dengan guru dan sekolah dasar, mulai yang terpencil di dekat hutan Jati Perum Perhutani di Purwodadi, di kaki gunung taman nasional Halimun sampai yang di kota besar seperti Jakarta. Seringkali ngenes rasanya melihat kondisi sekolah yang reot, satu kelas diumplek-umplek sampai 50 anak dan guru yang harus nyambi jadi pengojek atau kerja serabutan lainnya. Jauh sekali dari guru SD di Australia yang wangi dan mobilnya mengkilap.
Bahkan di sekolah yang baguspun, pusing rasanya melihat anak SD yang selalu heboh. Penyuluhan 2 jam di depan anak SD buat saya sudah maksimal, tak terbayangkan guru SD menghadapi anak-anak kecil setiap hari. Salut saya melihat kesabaran mereka. Harusnya guru SD itu gajinya tidak kalah dengan guru mahasiswa, minimal gajinya memadai untuk hidup .. jangan sampai guru nyambi jadi tukang ojek atau perkerjaan lain!
Ngomong-ngomong soal gaji, seorang teman pernah menghitung-hitung gaji dosen Indonesia per jam kerja. Yang digunakan sebagai acuan adalah saya yang kalau ditanya mengenai pekerjaan seringkali menjawab ibu rumah tangga menyambi dosen. Hitung punya hitung dari kehadiran saya di kampus yang cuma datang saat mengajar, rapat dan ambil gaji disimpulkan bahwa gaji saya sekitar 150 ribu/jam. Itu hitungan sekitar 7 tahun yang lalu lho. Tentunya protes dong saya, soalnya pekerjaan seperti membuat soal ujian, menyiapkan bahan mengajar, memeriksa hasil ujian dan juga skripsi mahasiswa, yang semuanya saya kerjakan di rumah, tidak dihitung. Saya ini orang rumahan, lebih produktif di rumah daripada di kantor. Bahkan sekolah di Australiapun sama. Kalau tidak ketemu supervisor, tidak ke lapang, tidak ke laboratorium atau ke perpustakaan, lebih baik kerja analisis data atau buat paper di rumah daripada di ruangan khusus postgraduate di Uni.
Enaknya jadi dosen di Indonesia itu adalah fleksibilitas yang tinggi. Kalau orang ribut soal dwifungsi ABRI, tidak ada yang penah ribut soal multifungsi dosen. Sudah jamak di kampus saya dosen merangkap jadi Dirjen, Menteri, Ketua LSM, konsultan di berbagai organisasi, komentator ahli di TV atau bahkan mahasiswa seperti saya. Banyak orang bule disini, termasuk supervisor saya, terheran heran bahwa saya ternyata punya kerjaan di Indonesia bahkan masih digaji (tidak tahu dia bahwa gaji dipotong separuh dan kalau di kurs ke dalam dollar cuma bisa untuk nyewa rumah seminggu disini). Mahasiswa Indonesia di Australia (terutama yang postgraduate) selalu mengolok-olok bahwa para pegawai negeri di sini tugas belajar bukan tugas untuk dapat gelar. Dalam arti, kalaupun gagal dapat gelar master atau doktor pulang masih punya pekerjaan.
Cintaku di kampus biru, yang setting asli ceritanya di kampus Universitas Gajah Mada, Jokjakarta pengambilan gambarnya di kampus IPB. Tidak ada mahasiswa/i IPB yang jadi figuran, karena kalau menurut mahasiswa saya, „kalau mahasiswi dari IPB nggak ada yang seksi .. maklum kebanyakan mainnya di sawah atau dihutan .....“.
Comments