PASAR
Sabtu pagi yang malas. Mengingatkan pada sabtu beberapa waktu yang lalu. Saat itu sayup-sayup terdengar suara penyiar dari radio yang terpasang: “Sabtu pagi setelah libur lebaran, rasanya masih malas kemana-mana. Kalau selama ini kita terbiasa dimanjakan dengan segala kemudahan belanja di supermarket dan hypermart. Bagaimana kalau pagi ini mencoba suatu yang lain, misalkan ke pasar tradisional? Pastinya banyak pengalaman menarik yang akan diperoleh”. Kontan saya mesem-mesem sendiri.
Namanya perempuan, belanja bisa jadi salah satu kegiatan favorit. Salah satu teman saya ada yang semangat sekali dalam hal belanja berbelanja. Apalagi kalau ada iklan potongan sekian persen dari berbagai department store. Wah, pastinya dipaksa-paksain untuk menyisihkan waktu untuk mengunjungi biang pengiklan itu. Konyolnya, salah satu alasan favorit dia untuk belanja adalah, “ Lho, gue dikasih duit sama suami. Kalau nggak dihabisin ntar nggak bisa minta lagi. Daripada duitnya dia jatuh ke orang lain, mendingan jatuh ke gue … iya ngak?” Padahal, kalau dipikir-pikir, duit yang jatuh ke dia itu ya habis juga didistribusikan ke orang lain … ya via belanja itu!
Kembali ke pasar tradisional. Pulang dari Australia awal tahun 2005 silam, saya kangen banget ingin belanja ke Pasar Bogor, salah satu pasar tradisional di kota hujan tempat tinggal kini. Sama seperti yang diutarakan rayuan maut penyiar radio, saya ingin merasakan pengalaman yang lain. Jadi, pagi-pagi di hari Sabtu saya pun bersiap-siap ke Pasar. Menggunakan sandal jepit dan berbekalkan tas kain untuk menaruh belanjaan, siaplah saya meluncur ke pasar. Tidak perlu naik mobil, macet … jadi naik angkot (angkutan kota saja). Karena anak perempuan saya yang kecil ingin ikut, saya ajak dia. Persis deh seperti iklan salah satu merek sabun mandi, biar anak dapat pengalaman baru.
Pasar sayur dan daging di Pasar Bogor terletak di dalam sebuah gedung bertingkat, di bagian bawah. Di atasnya ada kios-kios yang menjual beras dan barang kelontong. Karena di dalam gedung, maka lantainya keramik. Ingatan saya, dulu (sebelum berangkat ke Australia 4 tahun silam) lumayan bersih. Apa dikata, karena baru saja hujan kemarin malam maka jalanan – yang campuran aspal bergeropak dan lumpur - di luar pasar itu becek. Waduh, saya mulai deh menyesal pakai sandal jepit. Celana panjang bagian belakang sudah penuh bercak-bercak tanah coklat. Apalagi anak saya sudah mulai seret untuk maju. Wong, biasanya dibawa ke pasar tradisional di Australia yang bersih tiba-tiba harus masuk ke dalam suatu tempat yang becek. Walaupun wajahnya mulai memanjang, saya paksakan untuk masuk. Nah, pasar itu letaknya agak lebih di bawah dari jalan raya. Jadi air yang ada di dalam jalan raya ternyata bisa ikut mengalir ke dalam pasar.
Walaupun dari bagian depan saja bentuk pasar sudah menunjukkan tanda-tanda becek dan penuh sesak, tapi dengan gagah berani saya tetap masuk ke dalam pasar. Pasar ramai sesak bukan oleh pedagang saja, tapi juga oleh para pembeli. Lorong-lorong antar kios rasanya bertambah sempit. Apalagi beberapa tukang sayur rupanya membersihkan sayur di dekat kios mereka. Jadinya di lorong banyak tumpukan sampah sayuran semisal bagian kol terluar, kulit luar kacang merah dan pelepah jagung. Alhasil, bau-bau sampah organik sangat kental terasa di dalam. Injak sana-injak sini, sikut sana-sikut sini, bisa juga saya sampai di depan kios yang menjual tahu di bagian agak dalam. Setelah membayar, rencananya mau dilanjutkan membeli sayur. Belum beberapa langkah tiba-tiba nafas terasa sesak, rasanya pengap sekali dan keringat dingin membanjiri tubuh. Waduh … ini tanda-tanda buruk, saya perlu oksigen! Langsung dengan cepat saya tarik anak saya dan dengan agak sempoyong berjalan keluar dari pasar. Sesampainya di luar saya langsung menghirup udara segar dan pelan-pelan rasa sesak hilang. Muka saya yang pucat perlahan-lahan mulai berwarna.
Sejak saat itu, saya agak trauma ke pasar Bogor. Setiap kali bercita-cita ke pasar, anakku dengan lantang mengingatkan “ Ma … awas lho nanti kejadian mau pingsan lagi…!” Wah, urung deh. Akhirnya kalaupun ke pasar, paling hanya berani beli buah yang tempatnya memang di luar gedung pasar. Biar rada becek tapi oksigen mengalir lancar. Urusan sayur: ya balik lagi ke Hypermart atau tunggu tukang sayur aja deh yang tiap pagi lewat.
Aduh … kapan ya bisa ke pasar tradisional yang ciamik! Nggak bikin pusing dan nyaman. Seperti pasar yang ada di foto ini. Memang jauh sih, di London. Alamak … nyaman dan tak bau!
Comments