MOBBED dan KEROYOKAN: Refleksi ziarah makam di Cirebon



Beberapa waktu lalu di TV berbayar Fox saya menonton acara reality show berjudul “Mobbed”. Mobbed menyajikan orang-orang yang dikejutkan oleh tarian spontan dari puluhan bahkan ratusan orang di sekitarnya.  Tentunya tarian itu tidak benar-benar spontan. Tarian dirancang khusus dengan latihan ketat untuk membantu seseorang menyatakan sesuatu seperti permintaan maaf atau pernyataan jatuh cinta. Efek ratusan orang menari serempak ini – yang juga dikenal dengan istilah flash mobbed - pada awalnya membuat kaget dan bingung bagi orang yang menjadi subyek utama. Seiring dengan waktu, kekagetan ini akan berubah menjadi kekaguman. Selanjutnya diharap menjadi penerimaan akan permintaan perancang flash mobbed

Susah untuk menjelaskan istilah mobbed  dalam bahasa Indonesia. Kata terdekat yang mungkin bisa untuk menggambarkan mobbed adalah keroyokan  yang dalam Kamus Besar bahasa Indonesia didefinisikan sebagai [n] (1) serangan beramai-ramai (orang banyak); (2) perkelahian beramai-ramai. Bila keroyokan dalam acara Mobbed berakhir menyenangkan, keroyokan di Indonesia biasanya berakhir tidak menyenangkan. 

Kata paling berhubungan dengan keroyokan dalam bahasa Indonesia adalah tawuran dimana anak-anak muda satu sekolah biasanya berkelahi ramai-ramai melawan kelompok sekolah lain untuk berbagai alasan yang seringkali tak jelas. Seringkali tawuran ini ngawur  menyasar kepada orang-orang yang tidak tahu sama sekali awal mula perselisihan dan memakan korban. Tawuran sekarang bukan sekedar penyakit sosial yang melanda remaja tapi juga melanda orang dewasa. Tawuran antar kelompok di sebuah desa atau tawuran penduduk antar desa menjadi berita yang sering muncul di Koran atau TV. Miris rasanya melihat sesama orang Indonesia berkelahi seperti orang Palestina melawan pendudukan Israel.

Pemakanan rakyat yang senyap di sebuah desa di Wales, Inggris. Medio 2004
Keroyokan dalam skala kecil beberapa kali saya rasakan, bukan dalam arti tawuran, tapi benar-benar diserbu beramai-ramai. Kejadian ini selalu berulang kalau keluarga kami ziarah ke makam di Cirebon. Cirebon yang disebut kota wali  dengan ratusan pesantren yang disegani bisa dibilang memiliki anomali dalam tatacara sopan santun masyarakatnya. Predikat kemiskinan yang rupanya melekat pada masyarakatnya, membuat Sunan Gunung Jati meninggalkan pesan ‘Isun Titip Tajug Lan Fakir Miskin‘ yang intinya pengingat untuk melakukan ritual keagamaan dan memberi sedekah pada fakir miskin. 


Kini bisa dibilang tradisi pemberian sedekah sudah menjadi eksploitasi dan berujung rasa pengeroyokan pada orang-orang yang sedang berziarah. Dapatkah anda bayangkan bagaimana rasa khusuk para peziarah bisa tetap ada bila diakhir ziarah pengunjung (bahkan kadang-kadang belum selesai berdoa) dikelilingi puluhan anak-anak yang meminta sedekah dengan garang? Tidak semua orang membawa cukup uang lho saat ziarah…wong rencananya cuma mendoakan keluarga yang sudah meninggal kok malah dikejar-kejar untuk memberi uang! Sungguh memalukan para pemuka agama dan pemimpin yang selalu ribut soal ritual keagamaan atau masalah secarik kain tapi tutup mata atas kelakuan umatnya yang jelas-jelas tidak menunjukkan martabat. Rakyat diminta bangga menjadi pengemis dan menjadi pemeras berselubung amal mulai dari usia dini

Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Asri dan menenangkan.
Sayangnya, virus permintaan uang di makam bukan hanya terjadi di Cirebon – walaupun keroyokannya lebih kecil – ini juga terjadi di berbagai pemakaman umum di Jawa. Mungkin bisa dibilang, makam umum yang paling aman dan nyaman untuk berdoa saat ini cuma ada di Taman Makam pahlawan Kalibata. Tak heran saat ini para pengembang swasta membuat berbagai taman makam alias memorial park  yang rapi dan kinclong. Bukan sekedar karena Taman Pemakaman Umum milik pemerintah sudah penuh sehingga satu lubang bisa berisi beberapa jenazah, tapi juga karena hilangnya rasa nyaman dan aman. Rasa aman dan nyaman tentu bukan untuk orang yang meninggal – wong harusnya sudah tidak merasakan apa-apa – namun untuk para peziarah.

Seperti juga mobbed  yang jelas-jelas direncanakan dengan matang, urusan tawuran dan keroyokan minta uang di Indonesia harusnya juga ada perencananya. Sayangnya pemerintah kadang kala tutup mata dan menganggap sepele masalah ini. Padahal seperti kata Anis Baswedan pada tulisannya “Ini soal Tenun Kebangsaan. Titik!” mereka inilah perobek tenun kebangsaan. Bukan kerja keras yang kini dikedepankan, tapi rasa ‘meminta-minta’ yang menjadi utama. Bangga menjadi pengemis. Bangga bisa mengeroyok. Sudah saatnya kita menjaga harga diri bangsa dan serukan “ jangan pernah coba-coba merobek tenun kebangsaan”.

Comments

R21 Service said…
Mampir juga ya ke eventcirebon.blogspot.com :)

Popular posts from this blog

CINTAKU DI KAMPUS BIRU

Jurnal Liburan Sumatera Barat Akhir Tahun 2011: Istana Pagaruyung

PULANG: Untuk para anak di rantau