TERSERET KDRAMA
Bertahun-tahun saya berhasil mengalahkan godaan Kdrama. Orang-orang di sekitar saya (tepatnya 2 kakak saya) sibuk membahas Kdrama, dan saya biasanya nyengir saja. Kalaupun menonton film Korea referensi saya saat itu Train to Busan (belum ada Parasite atau Minari yee..). Oleh karena itu, 3x ke Korea, saya tidak terlalu tertarik untuk mengaitkan lokasi yang saya kunjungi dengan latar kisah drama TV. Semua berubah gara2 pandemi.
Bosan dengan pilihan di TV "normal" orang gedongan alias TV berbayar semacam Fox, HBO dll yang filmnya diulang puluhan kali, saya langganan Netflix. Drama Korea rupanya banyak di situ. Lagipula Kdrama kebanyakan pendek antara 16-20 episode tidak seperti drama Tiongkok yang panjangnya sampai 70an episode (terus akhirnya banyak yang tragis...menyebalkan!).Perkenalan saya dengan Kdrama di kanal itu dimulai dengan tema2 kerajaan atau sageuk. Saya diracuni oleh Kingdom yang nggak ada romatis-romantisnya karena sibuk dengan serangan zombie. Mengingat Kdrama ini memang adiktif, jangan heran kalau kemudian akhirnya saya merambah juga ke tema-tema lain termasuk romcom yang bikin orang tergila-gila itu. Dari pengalaman menonton ini ada beberapa catatan saya:
1. Tampang Barbie, body Ken
Sebenarnya kalau lihat para aktornya, kebanyakan cantik-cantik. Mukanya mulus banget, glowing full skincare. Bibirnya merah merekah. Buat yang senang tampang jantan, wajah kebanyakan aktor Korea terlalu manis. Makanya kalau jadi "perempuan" pasti meyakinkan. Asal jangan lihat jakunnya. Itu yang membuat saya awalnya enggan menyentuh KDrama apalagi yang romantis. Cowoknya kok cantik banget. Hanya saja, alamak, bodynya bener2 cowok Gym. Six pack. Jangan heran kalau sutradaranya "memaksa" para aktor untuk adegan telanjang dada walaupun gak pas. Pokoknya kudu mandi deh, mau di sungai atau pancuran. Sayang kalau tidak dipamerkan. Tapi ya itu, hanya atasnya saja ya saudara-saudara! No pantat (kok gue obsesif pantat haha..). Cowok-cowok di Kdrama itu juga kadang too good to be true: udah kaya, ganteng (well..maniez nan imutz...), canggih gebuk orang, bisa masak, super perhatian pula! Lagipula, entah gimana kayaknya cowok Korea di Kdrama tidak anti nangis. Apa beneran ya mereka begitu? Nangisnya nggak kalah sama ceweknya!
2. Masyarakat Korea ternyata konservatif
Kdrama awal tahun 2000an kayaknya cocok banget buat yang pengin kisah cinta yang syar'i. Tidak seperti film2 made in Hollywood yang begitu ketemu langsung full body contact dan full exposure birthday suit (The witcher saudara2... daaan...pantatnya Henry Cavill memang indah), Kdrama sangat halus. Pakaian tertutup, tatapan mata sendu, sentuhan sebatas tangan atau membetulkan rambut sudah cukup buat deg degan. Kalau pun ciuman..alamak..kagak niat banget! Hanya nempel ujung bibir terus bersemu merah jambu. Kalaupun nyampe juga di tempat tidur, platonik banget. Sebenarnya sih drama2 tahun 2015 ke atas sudah lebih hot. Selain itu, topik LGBT kayaknya tabu. Kalaupun ada juga samar, dan biasanya tokoh-tokohnya bingung. Kitanya juga bingung, ini sebenarnya kisah BL (Boy Love) atau tidak sih? Kok cowok seneng sama cowok. Buntut-buntutnya mereka lega diakhir (setelah pakai drama) ternyata beda jenis. Terakhir-akhir sih ada juga plot tambahan yang menceritakan pasangan sama jenis.
3. Belajar sejarah Korea
Ketika ke Korea, saya lihat mereka kompetitif sekali dengan orang Jepang. Kesannya terobsesi malah. Memang sekilas saya ingat mereka pernah dijajah Jepang. Tapi perasaan orang Indonesia santai2 aja tuh sama Belanda (eh bener gak ya..). Pemerintah Belanda bilang maaf, nggak ada riuh rendah di medsos. Setelah nontoh berbagai sageuk, saya baru mulai baca2 lagi dan ngeh betapa sangat menyakitkan saat itu bagi masyarakat Korea dan bagaimana posisi Korea terjepit antara Jepang dan Cina. Berat yak jadi orang Korea. Kdrama sageuk ini memang punya banyak material karena pada era Joseon di tahun 1392 sampai 1865 (500 tahun lebih!) ternyata ada pasukan pencatat atau historian yang secara rinci mencatat semua kegiatan keluarga kerajaan (Rookie historian itu didasari dari keberadaan para pencatat. Entah apa ada perempuannya atau nggak). Catatan sejarah ini yang disebut sillok, terdiri dari 1.893 volume dan diakui sebagai warisan dunia oleh Unesco.
4. Jadi raja Korea jaman dulu berat
Jadi raja itu berat, intriknya tinggi. Raja nggak berkuasa penuh, karena masih dikendalikan oleh berbagai menteri dan faksi. Mau adik, kakak, om, teman dekat atau siapapun setiap saat bisa menjatuhkan raja. Raja bisa mati kapanpun karena dikhianati. Milih istri juga susah banget. Hadeuuh....ngapain juga jadi raja. Tapi dipikir2, kalau kisah kerajaan di Indonesia dibuat drama pasti sama. Penuh tusukkan depan, belakang, kanan, kiri (Ken Arok saudara2, pasti full stabbing!). Sayangnya pakaian jaman dulu di Indonesia kagak syar'i...susah kali ya...masak ratunya biasa pake kemben dipaksa pakai jubah di film biar syar'i.
5. Jadi perempuan jaman dulu di Korea itu berat
Ampuun deh, perempuan jaman dulu nggak boleh belajar, suami dipilihin, kudu nurut, hidupnya hanya untuk rumah tangga doang dan tidak bisa punya karir seperti laki2. Sangat patriaki. Walaupun bajunya bagus-bagus, gak janji deh gue mah hidup di jaman Joseon. Terlempar ke masa silam bagi perempuan pastinya tidak enak. Boro-boro romantis.
6. Baju menunjukkan kasta
Walaupun drama percintaan, Kdrama sering menyisipkan ketidak adilan sosial secara halus. Contohnya, pada jaman dulu baju bagus itu hanya untuk kasta tinggi. Ada satu kalimat yang diucapkan salah satu pemeran di drama Live up to your name kepada pasangannya yang terlempar ke era Joseon. Intinya mengatakan bahwa warna dan bahan baju di saat itu menunjukkan status. Salah baju, bisa membuat orang terbunuh karena dianggap rakyat jelata yang bisa diperbudak. Sampai sekarang kayaknya disparitas antara orang kaya dan jelata di Korea masih tinggi. Bukan anggota kerajaan lagi, tapi para pengusaha besar seperti chaebol itu dengan keluarganya. Ingat kasus pramugari yang dilempar kacang akhir tahun 2014 lalu? Kalau nggak ingat, ya cari sendiri dengan kata kunci nutgate atau nut rage incident.
7. Pekerja keras
Bermitra dengan peneliti Korea, membuat saya memahami - jauh sebelum nonton Kdrama - kenapa mereka bisa maju. Mereka itu pekerja keras! Ini tergambar dari tokoh-tokoh utamanya. Sangat kompetitif pula. Balik dari satu pertemuan di Korea, saya langsung berpikir...saya nggak bakalan bisa bertahan kalau di Korea. Terlalu malas! Kalau 50% peneliti kita bisa punya etos kerja seperti peneliti Korea kayaknya atmosfir penelitian kita bisa lebih maju. Kalau peneliti2nya kayak saya.... atau lebih parah dari saya.....yaaa... wassalam.
8. Pinter jualan secara halus maupun terang-terangan
Buseet deh KDrama itu pinter banget menyisipkan berbagai produk. Walaupun ada juga sih yang rada maksa, tapi mereka pinter menyisipkan "jualan" produk dalam kehidupan sehari-hari. Kalau KDrama setting modern itu jualan utama kayaknya HP, skin care dan make up, makanan serta minuman (termasuk permen). Kalau cross over genre yang perjalanan waktu kayaknya yang dibawa jualan modern tuh. Kalau yang genre jaman dulu yang dijual budayanya kali ya... sampai-sampai kita lebih familiar sama Hanbok daripada Baju Bodo.
Kayaknya masih banyak lagi yang bisa dikupas. Ada hal-hal yang masih membuat saya penasaran, misalnya peran Kisaeng yang sering ada dalam genre sageuk. Saya pikir tadinya mereka itu semacam perempuan penghibur termasuk seksual, tapi setelah dibaca lagi nggak juga tuh. Nggak habis-habis deh yang bisa dipelajari dari Kdrama lebih dari sekedar kisah2nya. Pastinya, para penulis cerita mereka sangat kreatif karena banyak banget Kdrama dengan berbagai kisah menarik. Mulai yang aneh dan nggak logis (pokoknya telen aja deh kalau hanya buat rekreasi mah) sampai yang mendekati kehidupan nyata. Bahkan isu-isu kesehatan yang disisipkan mendahului masanya. Misalnya di Descendants of the sun disebutkan adanya penyakit menular yang mengakibatkan salah satu pemerannya parah karena terkena badai sitokin. Saya sampai googling dulu ini drama dibuat tahun berapa. Soalnya saya baru familiar dengan istilah badai sitokin jaman pandemi. Kirain drama baru, ternyata sejak tahun 2016. Saya yakin, penulisnya pasti juga pada banyak baca.
Sekarang dengan mulainya kegiatan di luar rumah saya lagi belajar "menyapih" otak saya dari Kdrama. Apakah bakal berhasil....hmmm.... namanya juga usaha! Buat pecinta Kdrama, apakah setuju kita perlu menyapih dari adiksi ini?
Comments