ADAPTASI: susahnya jadi anak sekolahan di Indonesia

Tak terasa sudah lebih dari 6 bulan lamanya kami kembali ke Indonesia. Empat tahun bermukim di negeri Kanguru lumayan membuka mata serta memperkaya pengalaman saya dan keluarga. Menjelang kepulangan ke Indonesia, AusAid selaku pemberi sponsor dan beasiswa mengumpulkan para mahasiswa yang akan kembali ke tanah air. Salah satu hal yang dibicarakan adalah adaptasi saat kembali. Awalnya memang terasa aneh juga diskusi ini, apalagi jika dipikir bahwa kita akan kembali ke tanah air, kampung halaman sendiri, yang adat istiadatnya sudah kita ketahui begitu mendarah dagingnya. Tapi kami diingatkan bahawa selama tinggal di Australia kemungkinan kami sudah menyerap budaya serta perilaku lain dimana ketika kembali budaya atau perilaku itu mungkin akan berbenturan dengan kondisi di tanah air.

Adaptasi bukan hanya saja diperlukan untuk saya yang sekolah tapi tentunya untuk suami dan kedua anak saya yang ikut bermukim di Australia. Kerewelan kecil terjadi begitu pesawat mendarat di Bandara Soekarno Hatta dan anak perempuan saya yang kecil ingin pipis. Jadilah saya langsung membawa dia ke kamar mandi. Ndilalah karena banyak yang ingin pipis, hanya satu WC yang tersedia. WC jongkok dan basah. Kontan si kecil menjerit, “Ma, how am I going to pee in that thing?!”. Akhirnya terpaksa menunggu WC duduk kosong. Dasar sial, WC saat itu kotor, pesing dan tak ada tissue. Walah … bandara internasional … batin saya. Pindah lagi lah saya mencari WC yang lebih representatif dimana si kecil mau pipis, dan baru pada WC ke-4 dia mau pipis. Itupun setelah saya ngomel, “We are in Indonesia not in Australia and you better get used with that!”

Adaptasi lebih besar bagi anak saya adalah sekolah. Dengan pertimbangan bahwa anak saya yang terkecil akan lebih repot beradaptasi di sekolah negeri karena 1) bahasa Indonesianya yang belepotan, 2) ingin mempertahankan pengetahuan bahasa Inggris dia, 3) kemungkinan besar sulit pipis di sekolah negeri (ini bukan masalah sepele lho) yang umumnya kotor dan 4) dana tersedia maka anak terkecil saya masukkan ke sekolah swasta: sekolah Indonesia plus yang sekarang menjamur di Jabotabek. Sekolah ini memakai bahasa Inggris sebagai pengantar, satu kelas ada 3 guru, jumlah anak terbatas kurang dari 27 orang, ruangan nyaman dan suasana sekolah menyenangkan dan yang paling penting buat anak saya, “Ma, the toilet looks like our toilet at home” alias WC bersih, harum dan kering.

Masalah sekolah lebih banyak bagi sang kakak lelaki yang ketika kembali kemudian masuk ke kelas 2 SMP. Berbeda dengan adiknya, dengan berbagai pertimbangan kami memasukkan dia ke sekolah negeri. Berbeda pula dengan sang Adik yang registrasi sekolah dapat dilakukan pada saat kami masih di Australia via email dan fax, urusan memasukkan sekolah si kakak hanya bisa dilakukan saat kami kembali ke Indonesia.

Urusannya ternyata lumayan ruwet. Pertama harus ada surat pindah dari Konjen di Australia, lalu dibawa ke Dikdasmen di Senayan untuk mendapatkan surat rekomendasi dan menyetarakan jenjang kelas serta surat yang menyatakan dia memang sudah lulus SD. Karena di Australia dari kelas 6 SD ke highschool (SMP dan SMA) tidak ada ujian dan tidak ada ijazah dengan angka-angka ,cuma secarik kertas yang bilang dia sudah menyelesaikan primary school anak kami tidak punya ijazah “normal” layaknya lulus di Indonesia. Rapornyapun tergolong aneh. Rapor SD-nya tidak ada angka maupun standar kualitas seperti A, B, C atau D. Rapor SD si kecil (yang di Australia sampai kelas 3 SD) bentuknya seperti portofolio, berupa folder dengan hasil karyanya plus keterangan sang guru. Dijamin tidak laku di sekolah dasar negeri kita. Untungnya si kakak sudah highschool jadi rapornya berbentuk penilaian standar A,B, C dan D. Pengurusan di Dikdasmen tidak repot dan tidak mengeluarkan biaya sepeserpun. Hanya saja mungkin merepotkan untuk mereka yang tinggal jauh dari Jakarta. Biaya dan waktu untuk bolak-balik itu lho. Harusnya pengurusan hanya 2 hari. Tapi berhubung waktu itu baru saja gempa Aceh, pejabat yang harus menandatangani surat tugas ke Aceh dan surat baru jadi setelah seminggu.

Dari Dikdasmen, surat itu kemudian dibawa ke Dinas Pendidikan di kota kami. Sebelumnya kami berburu sekolah dulu. Alhamdulillah, ada satu sekolah negeri yang konon kualitasnya cukup baik yang masih ada tempat. Jadi saat Dinas Pendidikan menanyakan sekolah mana, kami langsung menyebutkan nomornya. Karena surat rekomendasi dari Dikdasmen mensyaratkan ada tes sebelum masuk untuk menyetarakan kelas maka si kakak mau tidak mau ikut tes di SMP yang telah menerimanya (walaupun sang kepala guru bilang ini cuma formalitas). Tes terdiri dari Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA, dan IPS. Kalau mau jujur dia hanya lulus di Bahasa Inggris saja, yang lainnya jelas jebol. Mana mengerti dia soal VOC dan pangeran Diponegoro yang tidak diajarkan di Australia. Kalau menggunakan hasil tes ini jelas dia bakal turun ke kelas 6 SD!

Dari awal pengurusan sampai sang anak masuk sekolah memakan waktu sekitar 2 minggu. Bandingkan dengan di Australia yang hanya makan waktu 1 hari. Tanpa surat macam-macam hanya berbekalkan rapor dari sekolah lama di Indonesia (itupun tanpa di terjemahkan) dan surat dari sponsor beasiswa (AusAid) langsung anak kami diterima hari itu juga.

Sekolah negeri di Australia jelas beda dengan sekolah negeri Indonesia. Bukan saja dari fasilitas tapi juga dari kedisiplinan yang dirasakan. Sekolah negeri di Indonesia umumnya disiplin keras dan kaku, kalau menurut sang kakak, “Seperti fasis!”. Betapa tidak setiap pagi dia harus upacara. Senin upacara bendera hampir 1 jam (sehingga dia paling bahagia kalau hujan pagi hari … dijamin tidak ada upacara) dan hari lain apel ¼ jam dimana semua anak dihujani ceramah oleh Kepala Sekolah dan dicek kelengkapan pakaian sekolah. Anak yang lupa pakai sabuk, warna sepatu berbeda atau ketidak laziman lainnya akan dapat hadiah tambahan berjemur ½ jam. Lha ini sekolah atau di militer?! Padahal dulu waktu anak-anak sekolah di Australia, sering sekali mereka lihat anak-anak yang sekolah tidak pakai sepatu dan kadang-kadang tidak pakai seragam dengan berbagai alasan sahih, dan tidak ada yang dijemur karena urusan tersebut. Di Indonesia sering ada cerita anak pingsan saat upacara, wah .. kalau di Australia … mungkin sudah jadi skandal nasional tuh kalau anak pingsan gara-gara disuruh upacara satu jam. Lain halnya kalau memang dia ikut pramuka atau dengan kemauan sendiri ikut upacara semisal ANZAC day.

Sekolah disini juga penuh pemborosan yang tidak penting. Contoh kecil: seragam. Mungkin Anda pikir seragam cuma satu, putih biru untuk SMP. Eh … jangan salah … total ada 5 seragam. Celana biru dan atasan kemeja putih untuk Senin, Selasa dan Rabu. Hari Kamis seragam celana dan atasan coklat pramuka (padahal tidak ada kegiatan pramukanya sama sekali), Jum’at seragam celana biru dan atasan lengan panjang baju Koko (tidak jelas alasan seragam ini tapi mungkin untuk menunjukkan bahwa dia muslim karena tidak mungkin hanya karena pakai baju Koko hari Jum’at kemudian anak-anak bertambah keimanannya) dan Sabtu seragam celana biru dan atasan batik dengan tulisan SMPnya. Lalu ada seragam olahraga. Waktu anak saya datang seragam olahraga (yang dengan tulisan SMPnya) habis jadi dia diperbolehkan menggunakan pakaian olah raga sendiri sampai seragam datang. Bayangkan ada 5 macam pakaian yang jelas biayanya tidak murah. Sementara di Australia seragam hanya satu, celana pendek dan baju atas kaos berkerah (polo) yang juga bisa dipakai untuk olah raga. Jadi, kalaupun di Indonesia uang sekolah dibebaskan dengan pengeluaran boros macam seragam itu .. susahlah orang-orang tak mampu.

Saat saya datang terus terang saya agak terperangah juga karena headline di media massa adalah sinyalemen yang mengatakan “Pendidikan dasar di Indonesia rendah mutunya dibandingkan di negara lain!”. Ini ditegaskan dengan pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh pejabat tinggi negara. Mengikuti perkembangan anak saya bersekolah di Indonesia selama 6 bulan ini terus terang membuat saya tidak setuju dengan pernyataan ini. Pelajaran di Indonesia luar biasanya tinggi dan sulit bila dibandingkan dengan kelas yang sama di Australia. Di Australia, anak saya yang besar tergolong pintar untuk matematika. Salah satu kelebihan dia adalah karena saya - yang kuatir dengan adaptasi di Indonesia saat kembali – selama beberapa waktu menambah pelajaran matematikanya di rumah menggunakan buku-buku sekolah bawaan dari Indonesia. Berhubung tahun terakhir sang ibu sudah stress dengan penulisan thesis, dia hanya belajar menggunakan buku kelas 1 SMP. Pada saat itu dia setara dengan kelas 2 SMP di Australia.

Begitu kembali, kalang kabut lah karena pelajaran matematika di Indonesia lebih tinggi. Alhasil hari-hari dia dipenuhi dengan berbagai les. Di Australia dia belum dapat fisika walaupun ada pelajaran science. Begitu lihat pelajaran fisikanya disini saya jadi ingat bahwa pelajaran seperti itu dulu saya terima waktu SMA. Jadi, dia mana letak rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia saat ini? Yang saya lihat malah kebalikan, “PELAJARAN DI INDONESIA TERLALU TINGGI SEHINGGA TIDAK SEMUA ANAK MAMPU mencapai tingkat kemampuan yang dituntut dicapai oleh guru atau pemerintah pada tingkat itu!” Yang pasti, di Indonesia saya ikut heboh turun tangan membimbing dia membuat PR sementara di Australia relatif saya santai. Kadang kala, biar kata saya baru menyelesaikan pendidikan S3, saya ikutan puyeng juga dengan soal-soal matematika yang ada. Batin saya … bagaimana kalau keluarganya pendidikannya pas-pasan … bisa-bisa anaknya jungkir balik frustasi sendiri.

Keadaan ini diperparah lagi dengan isi satu kelas yang bisa mencapai 50 orang, guru sekolah negeri dengan gaji rendah, dan tuntutan-tuntutan lain yang tidak perlu …. misalnya urusan seragam yang beraneka ragam itu lho. Tak heran deh kalau anak saya komentar, “susah banget sih sekolah di Indonesia!”

Bagaimana dengan di perguruan tinggi? Selaku guru yang mengajar mahasiswa jangan dibilang saya tidak beradaptasi lho. Waktu di Australia dan jadi mahasiswa penampilan saya super santai ala komunitas akademik north queenslander yang mungkin paling cuek di antara state lain di Australia. Di James Cook University tempat saya belajar, sudah jamak lihat dosen maupun mahasiswa pakai kaos oblong, celana pendek, dan sendal jepit (kadang tidak pakai sepatu kecuali kalau di lab yang memang HARUS pakai sepatu dan jas lab dengan alasan keamanan). Rambut beragam: dari hijau, biru, ungu, hitam, panjang, gundul .. pokoknya seenake dewe. Begitu tiba disini, tahu-tahu ada himbauan dari Fakultas: untuk mendukung budaya corporate yang dicanangkan berdasarkan keputusan senat .. bla ..bla .. bla maka para dosen lelaki harus menggunakan dasi dan pada hari Jum’at para dosen diharapkan pakai baju batik. Berhubung pakai dasi di negara tropis panas, tentunya tidak nyaman dong kalau tidak ada AC. Wah .. ini peraturan mendorong penggunaan AC yang jelas boros dan tidak ramah lingkungan! Heran juga saya …. kok budaya corporate diterjemahkan harafiah dari penampilan luar, bukannya profesional semisal berapa banyak penelitian yang dikerjakan dan tulisan ilmiah yang diterbitkan dosen. Tak lama ternyata ada krisis listrik di Indonesia … bubar deh urusan pakai AC …ha..ha….

Yang pasti karena ukuran membengkak saat saya belajar maka salah satu pengeluaran pertama sebelum kembali mengajar adalah adalah membeli beberapa baju kantor ala corporate walaupun gaji non corporate dan masih ½ pula!

Keputusan lain di kampus: mahasiswa yang berpenampilan tidak sopan alias rambut panjang, baju kaos, tidak menggunakan sepatu tertutup tidak boleh berada di lingkungan kampus. Rasa-rasanya saya masih harus beradaptasi dengan pengertian sopan a la kampus saya.

Untuk mahasiswa perempuan yang beragama tertentu ada himbauan dari komunitas beragama tertentu, diharapkan memakai pakaian yang dianggap sesuai dengan norma agama tersebut. Ini himbauan lho bukan ketetapan dari senat atau rektorat …tapi ya ampun buat saya rada menjurus “teror himbauan” dimana semua papan pengumuman di kampus penuh dengan tempelan himbauan tersebut, nggak tanggung-tanggung bahkan jalan menuju asrama putripun dipenuhi tulisan yang sama. Mungkin ini untuk mengesahkan sinyalemen di luar bahwa kampus saya layak dapat julukan Institut Pesantren Bogor, soalnya beda dengan papan pengumuman di universitas tempat saya belajar dulu yang isinya melulu soal diskusi ilmiah atau seminar-seminar yang berbau ilmiah, maka di kampus saya disini isi tempelan 90% berisi diskusi keagamaan atau undangan pengajian! Wong kuliah saja kalau bisa duduknya dipisah kiri dan kanan berdasarkan jender (ini bukan kemauan dosen lho), bahkan konser umum macam konser Chrisye saja penontonnya juga harus nurut dipisah antar jender …. masya allah! Mudah-mudahan tidak berkembang nantinya harus ada tirai pemisah atau ruang terpisah!

Comments

Anonymous said…
wah, sungguh perubahan dan adaptasi yang luar biasa yah untuk sekolah di Indonesia.
pendidikan di Indonesia memang materinya luar biasa tinggi, sehingga banyak anak-anak yang tidak mampu untuk mengikuti sepertinya. mungkin yang dimaksud dengan tingkat pendidikan di Indonesia rendah adalah karena banyaknya anak yang tidak mengerti tentang materi-materi pendidikan itu (sekali lagi karena banyaknya materi yang diberikan, dan susahnya minta ampun). perlu diketahui bahwa hal ini terkait dengan motivasi dan kemampuan anak. karena anda tahu sendiri sepertinya, kalau di Indonesia sekolahnya masih banyak menggunakan metode mennghafal, dan metode-metode lain yang tidak aplikatif. kalau seperti itu, ditambah lagi dengan banyaknya materi yang diberikan, dan begitu sulitnya materi tersebut, akan menurunkan minat siswa dalam belajar, karena ia sudah merasa tidak mampu terlebih dahulu dalam mempelajari materi tersebut. dan mungkin ini juga berhubungan dengan memori manusia yang terbatas. proses pembelajaran tidak hanya berlangsung sekali dua kali, dan berdasarkan hafalan. namun lebih pada pemahaman. orang yang memahami suatu materi akan lebih dapat mengingat materi tersebut, dibandingkan dengan anak yang tidak memahami materi, dan hanya menghafal. karena kelebihan memori akibat terlalu banyak materi yang harus dihafalkan, maka secara otomatis memori-memori yang menurut anak tidak diperlukan akan dibuang atau dilupakan. salah satunya yang dilupakan yah mengenai materi pelajaran yang menurut dia tidak penting itu. yah, maka itu percumalah belajar selama bertahun-tahun, karena toh akhirnya akan dibuang juga. karena itu tidak heran tingkat pendidikan, eh maksudnya tingkat pemahaman anak dalam proses pembelajaran di Indonesia menjadi sangat rendah, sehingga anak seakan-akan tidak tahu apa-apa, dan menyebabkan anggapan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia menjadi rendah
Anonymous said…
Membicarakan pendidikan di Indonesia tak akan ada habis-habisnya. Saya saja yang dilahirkan dan dibesarkan di negeri ini pun selalu mengkritik apa yang terjadi pada sistem pendidikan di Indonesia. Dari urusan anak SD yang sangat terbebani belajar karena harus menguasai materi yang sedemikian banyak, sampai perguruan tinggi yang dosennya masih banyak yang sistem mengajarnya seperti guru di SMA. Alhasil, inilah negeri kita dengan kwalitas SDM yang segitu aja. Sungguh memprihatikan sekali.
Saya sendiri bisa dikatakan adalah lulusan dari universitas negeri ini, dari sekolah negeri yang merupakan tempat belajar saya dari SD sampai dengan SMA dan D3. Dan saya merasakan bedanya ketika saya mengambil gelar S1 di sekolah swasta yang dulunya dikenal baik karena menanamkan pendidikan dengan mutu tinggi. Kwalitasnya memang lebih baik dari ketika saya sekolah di D3, tapi masih saja ada hal-hal yang musti diperbaiki. Satu contoh perbaikan yang harus dilakukan adalah peningkatan kwalitas dosennya yang kebetulan ada yang fresh graduate dari universitas yang bersangkutan. Bukannya saya menyepelekannya, tapi metode pembelajaran di kelas membuat saya merasa kembali ke jaman SMA.
Yah kira-kira begitulah gambaran dari pengalaman saya. Dan jika saya membaca ulasan tetang susahnya jadi anak sekolahan di Indonesia, saya sangat mengerti perasaan ibu. Tapi inilah wajah negeri kita, entah kapan ada perubahan dalam sistem pendidikan. Semoga aja ada reformasi pendidikan yang melahirkan perbaikan sistem pendidikan di negeri ini, dan tentunya hal itu harus dengan kerja keras dan salah satunya adalah menghilangkan korupsi di bidang pendidikan yang terdengar nyaring tapi tidak ada tindakan.
Semoga ibu sebagai dosen memberikan perubahan yang baik di Indonesia.
Anonymous said…
waa..dilematis juga kalo dilihat2.
Penggunaan seragam kan dimaksudkan agar tidak ada diskriminasi antar siswa (tingkat ekonomi tinggi atau rendah) jadi pakenya seragam biar 1ragam ..hehe, tapi jika menimbulkan masalah baru...


entahlah reformasi seperti apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki kondisi negara kita saat ini, yang penting si budaya corruptnya dulu >.<

mengutip comment Kendi_saraswati saya sebagai calon mahasiswa juga
mengucapkan "Semoga ibu sebagai dosen memberikan perubahan yang baik di Indonesia."

Popular posts from this blog

CINTAKU DI KAMPUS BIRU

Jurnal Liburan Sumatera Barat Akhir Tahun 2011: Istana Pagaruyung

PULANG: Untuk para anak di rantau